Filosofi Terbentuknya UU No. 4 Tahun 1979 Kesejahteraan Anak
Suatu
bangsa dalam membangun dan mengurus rumah tangganya harus
mampu membentuk dan membina suatu tata penghidupan serta kepribadiannya. Usaha ini merupakan suatu usaha yang terus menerus, dari generasi kegenerasi.
mampu membentuk dan membina suatu tata penghidupan serta kepribadiannya. Usaha ini merupakan suatu usaha yang terus menerus, dari generasi kegenerasi.
Untuk
menjamin usaha tersebut, perlu setiap generasi dibekali oleh generasi yang
terdahulu dengan kehendak, kesediaan, dan kemampuan serta ketrampilan untuk
melaksanakan tugas itu.
Bagi
bangsa Indonesia Pancasila merupakan pandangan hidup dan dasar tata masyarakat.
Karena itu, usaha-usaha untuk memelihara, membina, dan meningkatkan kesejahteraan
anak haruslah didasarkan falsafah Pancasila dengan maksud untuk menjamin
kelangsungan hidup dan kepribadian bangsa. Oleh karena anak baik secara rohani,
jasmani maupun sosial belum memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri, maka
menjadi kewajiban bagi generasi yang terdahulu untuk menjamin, memelihara, dan
mengamankan kepentingan anak itu. Pemeliharaan, jaminan dan pengamanan
kepentingan ini selayaknya dilakukan oleh pihak-pihak yang mengasuhnya di bawah
pengawasan dan bimbingan Negara, dan bilamana perlu, oleh Negara sendiri.
Karena kewajiban inilah, maka yang bertanggungjawab atas asuhan anak wajib pula
melindunginya dari gangguan-gangguan yang datang dari luar maupun dari anak itu
sendiri.
Asuhan
anak, pertama-tama dan terutama menjadi kewajiban dan tanggung-jawab orang tua
di lingkungan keluarga; akan tetapi, demi untuk kepentingan kelangsungan tata
sosial maupun untuk kepentingan anak itu sendiri, perlu ada pihak yang
melindunginya.
Apabila
orang tua anak itu sudah tidak ada, tidak diketahui adanya, atau nyata-nyata
tidak mampu untuk melaksanakan hak dan kewajibannya,maka dapatlah pihak lain,
baik karena kehendak sendiri maupun karena ketentuan hukum, diserahi hak dan
kewajiban itu.
Bilamana
memang tidak ada pihak-pihak yang dapat melaksanakannya maka pelaksanaan hak
dan kewajiban itu menjadi tanggungjawab Negara.
Asas Lahirnya UU No.4 Tahun 1979
Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke
doelstelling), yakni setiap pembentukan peraturan perundang-undangan
harus mempunyai tujuan dan manfaat yang jelas untuk apa dibuat.
“asas kedapatlaksanaan” (dapat dilaksanakan) (het beginsel van
uitvoerbaarheid), yakni setiap pembentukan peraturan perundang-undangan
harus didasarkan pada perhitungan bahwa peraturan perundang-undangan yang
dibentuk nantinya dapat berlaku secara efektif di masyarakat karena telah
mendapat dukungan baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis sejak tahap
penyusunannya;
“asas kejelasan tujuan” , bahwa setiap Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak
dicapai;
“asas keterbukaan”, bahwa dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka.
Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang
seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
“asas pengayoman”, bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundangundangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan
ketentraman masyarakat;
“asas kemanusiaan”, bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak
asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk
Indonesia secara proporsional;
“asas kebangsaan”, bahwa setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa
Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
“asas kekeluargaan”, bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan musyawarah untuk
mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan;
“asas kenusantaraan”, bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundangundangan senantiasa memperhatikan kepentingan
seluruh wilayah Indonesia dan Materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang
dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
“asas bhinneka tunggal ika”,
bahwa Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus memperhatikan
keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta
budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
“asas keadilan” , bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga negara
Pengertian Kesejahteraan Anak
Dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1979,
tentang Kesejahteraan Anak, pada prinsipnya diatur mengenai upaya-upaya untuk
mencapai kesejahteraan anak.
Kesejahteraan anak merupakan orientasi utama dari perlindungan hukum. Secara umum, kesejahteraan anak tersebut adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial.(Paulus Hadisuprapto, 1996:7). Dalam Pasal 1 nomor 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979, tentang Kesejahteraan anak disebutkan bahwa “anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin”.
Kesejahteraan anak merupakan orientasi utama dari perlindungan hukum. Secara umum, kesejahteraan anak tersebut adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial.(Paulus Hadisuprapto, 1996:7). Dalam Pasal 1 nomor 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979, tentang Kesejahteraan anak disebutkan bahwa “anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin”.
Berdasarkan
prinsip non- diskriminasi, kesejahteraan merupakan hak setiap anak tanpa
terkecuali. Maksudnya adalah bahwa setiap anak baik itu anak dalam keadaan
normal maupun anak yang sedang bermasalah tetap mendapatkan prioritas yang sama
dari pemerintah dan masyarakat dalam memperoleh kesejahteraan tersebut.
Kondisi anak dewasa ini yang sangat mengkhawatirkan seharusnya menjadi perhatian utama pemerintah dan masyarakat. Realita menunjukkan bahwa kesejahteraan anak untuk saat ini, nampaknya masih jauh dari harapan. Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa tidak sedikit anak yang menjadi korban kejahatan dan dieksploitasi dari orang dewasa, dan tidak sedikit pula anak-anak yang melakukan perbuatan menyimpang, yaitu kenakalan hingga mengarah pada bentuk tindakan kriminal, seperti narkoba, minuman keras, perkelahian, pengrusakan, pencurian bahkan bisa sampai pada melakukan tindakan pembunuhan.
Perilaku
menyimpang yang dilakukan anak ini disebabkan oleh beberapa faktor internal
maupun eksternal dari si anak, di antaranya adalah perkembangan fisik dan
jiwanya (emosinya) yang belum stabil, mudah tersinggung dan peka terhadap
kritikan, serta karena disebabkan pengaruh lingkungan sosial di mana anak itu
berada.(Gatot Supramono, 2000:4).
Perilaku
menyimpang anak-anak tersebut (atau yang disebut juga dengan deliquency) tidak
dapat dipandang mutlak sama dengan perbuatan menyimpang yang dilakukan orang
dewasa. Meskipun pada prinsipnya jenis perbuatannya sama, namun tingkat
kematangan fisik dan emosi anak masih rendah, dan masa depan anak seharusnya
dapat menjadi pertimbangan dalam hal menentukan perlakuan yang tepat terhadap
mereka.
Tujuan
UU No. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak :
1.
Menjamin
pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun
sosial.
2.
Menjamin
terwujudnya Kesejahteraan Anak terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak.
Kebijakan
Kesejahteraan Sosial Anak
Anak
dan Permasalahannya
Sebelum tahun 1992, persoalan yang
menyangkut masalah anak hanyalah pada risiko kehidupan dan perkembangannya
menjadi manusia. Akan tetapi setelah konferensi mengenai children at risk
dibuka di Bergen pada bulan Mei, tahun 1992 persoalan anak tidaklah seputar itu
saja.
Sebagai dampak dari tidak terpenuhi
kebutuhan-kebutuhan anak tentunya akan menimbulkan permasalahan-permasalahan,
menurut laporan Konsorsium Lembaga Swadaya Masyarakat pada awal tahun 1900-an,
permasalahan tersebut adalah mendapatkan hasil yang mencengangkan dan
mengerikan tentang bagaimana anak jalanan dipaksa untuk berhubungan seks dengan
sesamanya, mengepel lantai dengan lidahnya dan kekerasan lain yang sulit
dibayangkan.
Pada awal 1980-an jumlah anak jalanan di Indonesia meningkat dengan drastis dan hampir 70 persen dari mereka adalah anak yang lari dari rumah karena faktor kemiskinan dan kekerasan yang dilakukan oleh keluarga ataupun kerabat dekat mereka.
Pada awal 1980-an jumlah anak jalanan di Indonesia meningkat dengan drastis dan hampir 70 persen dari mereka adalah anak yang lari dari rumah karena faktor kemiskinan dan kekerasan yang dilakukan oleh keluarga ataupun kerabat dekat mereka.
Diperkirakan bahwa pada tahun 2000-an,
jumlah anak jalanan yang semula diperkirakan “hanya” sekitar 50.000 anak
jalanan yang tersebar di kota besar di Indonesia, jumlahnya meningkat menjadi
sekitar 125.000. Masih berkaitan dengan masalah diatas adalah anak-anak yang
menjadi obyek eksploitasi seksual komersial, yang merupakan muara dari segala
persoalan di hulu. Pekerja dan anak-anak jalanan dengan mudah terjebak ke dalam
jaringan perdagangan seks komersial ini.
Diperkirakan pada tahun 2000 ada sekitar
30 persen dari seluruh pekerja seks komersial pada saat itu adalah anak-anak di
bawah usia 18 tahun. Data resmi mengenai berapa jumlah yang sebenarnya sangat
sulit didapatkan karena mobilitas mereka yang sangat tinggi. Apalagi setelah
krisis ekonomi terjadi, tercatat jumlah pekerja seks di Batam jumlahnya naik
empat kali lipat menjadi 10.000. Jumlah uang yang berputar dalam industri seks
di negeri Indonesia berkisar antara 1,8 milyar sampai 3,3 milyar setahun (data
tahun 2000).
Menurut data BPS pada bulan Agustus 2000 jumlah pekerja anak sebanyak 2,3 juta. Jumlah ini belum mencakup anak–anak berumur di bawah 10 tahun. IPEC/ILO memperkirakan sekitar 8 juta pekerja anak di bawah usia 15 tahun. Sebagai perbandingan selama tahun 1995 – 1999 terdapat 11,7 juta anak yang putus sekolah.
Menurut data BPS pada bulan Agustus 2000 jumlah pekerja anak sebanyak 2,3 juta. Jumlah ini belum mencakup anak–anak berumur di bawah 10 tahun. IPEC/ILO memperkirakan sekitar 8 juta pekerja anak di bawah usia 15 tahun. Sebagai perbandingan selama tahun 1995 – 1999 terdapat 11,7 juta anak yang putus sekolah.
Pelacuran anak, terdapat eksploitasi
secara seksual yaitu 40 – 70 ribu anak di bawah umur 18 tahun. Mereka sebagian
juga diperdagangkan ke luar negeri. Pada tahun 1997/1998, terdapat 75.106
tempat pekerja seks yang terselubung ataupun yang terdaftar. Kira – kira 30 %
penghuni tempat–tempat tersebut perempuan berusia 18 tahun. (Laporan Situasi
Anak dan Perempuan 2000)
Anak yang berkonflik dengan hukum,
menurut BPS, setiap tahunnya terdapat lebih dari 4.000 perkara pelanggaran
hukum yang dilakukan anak–anak di bawah usia 16 tahun. Tahun 1994 terdapat 9.442 perkara, menurun pada
tahun 1995 (4.724 perkara). Dari seluruh anak yang ditangkap hanya sekitar
separuh yang diajukan ke pengadilan dan 83 % dari mereka kemudian
penjarakan.Pengungsi anak, menurut Bakornas Penanggulangan Bencana dan
Penanganan Pengungsi berjumlah 40 % dari seluruh jumlah pengungsi. Sampai maret
2001, jumlah pengungsi adalah 1.081.341 jiwa atau 240.840 KK yang tersebar di
20 provinsi.
Perlakuan salah pada anak, dalam bentuk
fisik, emosional dan seksual terjadi pada anak–anak di Indonesia. Belum ada
data lengkap. Namun berdasarkan pemantauan terhadap 13 media cetak selama tahun
1994 – 1997, YKAI melaporkan 538 kasus perlakukan salah secara fisik, 63 kasus
penelantaran, dan 5 kasus perlakuan salah secara emosional. Perlakuan child
abuse adalah orang yang dikenal anak (66%), termasuk orangtuanya sendiri (7,2
%).
Perdagangan anak, dengan tujuan–tujuan
untuk pembantu rumah tangga, pelacuran, mengemis di jalanan, mengedarkan
narkotika, untuk dieksploitasi di tempat–tempat kerja berbahaya seperti jermal,
pertambangan, perkebunan, dsb. Telah dikenal lama. Saat ini dikenal pula adopsi
palsu, perekrutan anak untuk perang (konflik), hal yang juga tak kalah peliknya
adalah persoalan buruh anak juga menjadi persoalan yang tak kalah seriusnya.
Padahal buruh anak di sektor formal maupun informal selalu muncul di setiap
zaman hampir tidak pernah bisa dicarikan jalan keluarnya secara lebih holistik.
Sebelum krisis saja jumlah pekerja formal diperkirakan sebesar 1,8 juta,
walaupun Bank Dunia menunjukan angka 2,5 juta. Akan tetapi kalau melihat angka
putus sekolah yang mencapai hampir delapan juta anak, maka hampir bisa dipastikan
paling tidak sekitar 10 juta anak bekerja di sektor formal maupun informal.
Selain itu juga permasalahan yang
dialami oleh anak yang merupakan dampak dari tidak terpenuhi kebutuhan dasar
nereka adalah anak terlantar yaitu anak yang karena sebab-sebab tertentu tidak
terurus, tidak terpelihara, sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan jasmani,
rohani dan sosialnya, yang mengakibatkan terganggu atau terhambat pertumbuhan
jasmani dan perkembangan kepribadiannya.
Kebijakan
dalam Penanganan Masalah Anak
Terdapat lima kelompok PKSA di
lingkungan Direktorat Pelayanan Sosial Anak, yang pertama bantuan pemenuhan
kebutuhan dasar anak balita sebesar satu milyar enam juta rupiah, yang kedua
bantuan pemenuhan kebutuhan dasar dan kesejahteraan social anak jalanan dan
anak terlantar sebesar tiga milyar enam ratus lima puluh lima juta lima ratus
delapan puluh ribu rupiah, yang ke tiga bantuan pemenuhan kebutuhan dasar dan
kesejahteraan social anak berhadapan dengan hukum (ABH) sebesar enam ratus lima
puluh juta rupiah, yang ke empat bantuan pemenuhan kebutuhan dasar dan
kesejahteraan social anak dengan kecacatan, sebesar satu milyar enam ratus enam
belas juta empat ratus ribu rupiah, dan yang ke lima bantuan pemenuhan
kebutuhan dasar dan kesejahteraan social anak yang memerlukan perlindungan
khusus sebesar satu milyar dua ratus dua puluh empat juta rupiah” ungkap Harry
Hikmat. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Hadi Supomo,
menjelaskan tentang tentang aspek wawasan, tentang sosialisasi, dan berharap
adanya persepsi yang sama tentang mandat pengawasan anak-anak itu adalah KPAI.
Permasalahan anak terjadi akibat masalah keluarga, seperti data dari
Kementerian Agama menyebutkan bahwa 10% kasus perceraian pertahun terjadi.
Menyebabkan banyak anak yang menjadi terlantar. Menjadi permasalahan juga bahwa
sebanyak 40% pengaduan ke KPAI adalah perebutan hak Asuh anak.
Meneg PP yang diwakili oleh yang
diwakili oleh Deputi Bidang Anak, menjelaskan tentang Undang-undang
Perlindungan anak merupakan langkah penting untuk melaksanakan perlidungan
anak, memberikan sangsi tegas terhadap pelanggaran terhadap anak.
Kebijakan-kebijakan yang
dilaksanakan oleh kepolisian dalam membantu penanganan permasalahan anak
berhadapan dengan hukum. Seperti Perlakuan secara khusus terdapap anak,penyediaan
sarana dan prasarana, penjatuhan sangsi yang tegas untuk kepentingan terbaik
anak, pemantauan terus-menerus terhadap perkembangan anak yang
berhadaapan dengan hukum.
Sementara itu Komisi VIII DPR RI
menyambut baik untuk lebih meningkatkan kapasitas kelembagaan, ketersediaan
data dan informasi, koordinasi, sinkkronisasi mengenai pelaksanaan program
perlindungan anak lintas sektoral dan harmonisasi peraturan perundang –
undangan yang terkait dengan perlindungan anak, Komisi VIII DPR juga sepakat dengan
Ditjen Yanrehsos Kementerian Sosial RI, Bareskrim POLRI, Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan perlindungan anak, serta KPAI dalam melakukan
penanganan, perlindungan anak secara sistematis dan integratif serta
sosialisasi yang intensisf mengenai program perlindungan anak.
Pemenuhan dan perlindungan hak-hak
anak di Indonesia secara khusus telah diatur dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak, khususnya pada pasal 4 “Setiap anak berhak untuk dapat
hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”. (Dit Pelayanan Sosial Anak)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar