Minggu, 05 Oktober 2014

Filosofi, Tujuan dan Azas UU No 4 Tahun 1979 serta Penanganan Masalahnya

Filosofi Terbentuknya UU No. 4 Tahun 1979 Kesejahteraan Anak
Suatu bangsa dalam membangun dan mengurus rumah tangganya harus
mampu membentuk dan membina suatu tata penghidupan serta kepribadiannya. Usaha ini merupakan suatu usaha yang terus menerus, dari generasi kegenerasi.
Untuk menjamin usaha tersebut, perlu setiap generasi dibekali oleh generasi yang terdahulu dengan kehendak, kesediaan, dan kemampuan serta ketrampilan untuk melaksanakan tugas itu.
Bagi bangsa Indonesia Pancasila merupakan pandangan hidup dan dasar tata masyarakat. Karena itu, usaha-usaha untuk memelihara, membina, dan meningkatkan kesejahteraan anak haruslah didasarkan falsafah Pancasila dengan maksud untuk menjamin kelangsungan hidup dan kepribadian bangsa. Oleh karena anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial belum memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri, maka menjadi kewajiban bagi generasi yang terdahulu untuk menjamin, memelihara, dan mengamankan kepentingan anak itu. Pemeliharaan, jaminan dan pengamanan kepentingan ini selayaknya dilakukan oleh pihak-pihak yang mengasuhnya di bawah pengawasan dan bimbingan Negara, dan bilamana perlu, oleh Negara sendiri. Karena kewajiban inilah, maka yang bertanggungjawab atas asuhan anak wajib pula melindunginya dari gangguan-gangguan yang datang dari luar maupun dari anak itu sendiri.
Asuhan anak, pertama-tama dan terutama menjadi kewajiban dan tanggung-jawab orang tua di lingkungan keluarga; akan tetapi, demi untuk kepentingan kelangsungan tata sosial maupun untuk kepentingan anak itu sendiri, perlu ada pihak yang melindunginya.
Apabila orang tua anak itu sudah tidak ada, tidak diketahui adanya, atau nyata-nyata tidak mampu untuk melaksanakan hak dan kewajibannya,maka dapatlah pihak lain, baik karena kehendak sendiri maupun karena ketentuan hukum, diserahi hak dan kewajiban itu.
Bilamana memang tidak ada pihak-pihak yang dapat melaksanakannya maka pelaksanaan hak dan kewajiban itu menjadi tanggungjawab Negara.




Asas Lahirnya UU No.4 Tahun 1979
Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling), yakni setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan dan manfaat yang jelas untuk apa dibuat.
“asas kedapatlaksanaan” (dapat dilaksanakan) (het beginsel van uitvoerbaarheid), yakni setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada perhitungan bahwa peraturan perundang-undangan yang dibentuk nantinya dapat berlaku secara efektif di masyarakat karena telah mendapat dukungan baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis sejak tahap penyusunannya;

“asas kejelasan tujuan” , bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai;

“asas keterbukaan”,  bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

“asas pengayoman”,  bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat;
“asas kemanusiaan”, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional;
“asas kebangsaan”, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia;
“asas kekeluargaan”,  bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan;
“asas kenusantaraan”, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
“asas bhinneka tunggal ika”,  bahwa Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
“asas keadilan” ,  bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara

Pengertian Kesejahteraan Anak

Dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1979, tentang Kesejahteraan Anak, pada prinsipnya diatur mengenai upaya-upaya untuk mencapai kesejahteraan anak. 
Kesejahteraan anak merupakan orientasi utama dari perlindungan hukum. Secara umum, kesejahteraan anak tersebut adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial.(Paulus Hadisuprapto, 1996:7). Dalam Pasal 1 nomor 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979, tentang Kesejahteraan anak disebutkan bahwa “anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin”.
Berdasarkan prinsip non- diskriminasi, kesejahteraan merupakan hak setiap anak tanpa terkecuali. Maksudnya adalah bahwa setiap anak baik itu anak dalam keadaan normal maupun anak yang sedang bermasalah tetap mendapatkan prioritas yang sama dari pemerintah dan masyarakat dalam memperoleh kesejahteraan tersebut.

Kondisi anak dewasa ini yang sangat mengkhawatirkan seharusnya menjadi perhatian utama pemerintah dan masyarakat. Realita menunjukkan bahwa kesejahteraan anak untuk saat ini, nampaknya masih jauh dari harapan. Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa tidak sedikit anak yang menjadi korban kejahatan dan dieksploitasi dari orang dewasa, dan tidak sedikit pula anak-anak yang melakukan perbuatan menyimpang, yaitu kenakalan hingga mengarah pada bentuk tindakan kriminal, seperti narkoba, minuman keras, perkelahian, pengrusakan, pencurian bahkan bisa sampai pada melakukan tindakan pembunuhan.
Perilaku menyimpang yang dilakukan anak ini disebabkan oleh beberapa faktor internal maupun eksternal dari si anak, di antaranya adalah perkembangan fisik dan jiwanya (emosinya) yang belum stabil, mudah tersinggung dan peka terhadap kritikan, serta karena disebabkan pengaruh lingkungan sosial di mana anak itu berada.(Gatot Supramono, 2000:4).
Perilaku menyimpang anak-anak tersebut (atau yang disebut juga dengan deliquency) tidak dapat dipandang mutlak sama dengan perbuatan menyimpang yang dilakukan orang dewasa. Meskipun pada prinsipnya jenis perbuatannya sama, namun tingkat kematangan fisik dan emosi anak masih rendah, dan masa depan anak seharusnya dapat menjadi pertimbangan dalam hal menentukan perlakuan yang tepat terhadap mereka.

Tujuan UU No. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak :

1.                  Menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial.
2.                  Menjamin terwujudnya Kesejahteraan Anak terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak.

Kebijakan Kesejahteraan Sosial Anak
Anak dan Permasalahannya
Sebelum tahun 1992, persoalan yang menyangkut masalah anak hanyalah pada risiko kehidupan dan perkembangannya menjadi manusia. Akan tetapi setelah konferensi mengenai children at risk dibuka di Bergen pada bulan Mei, tahun 1992 persoalan anak tidaklah seputar itu saja.
Sebagai dampak dari tidak terpenuhi kebutuhan-kebutuhan anak tentunya akan menimbulkan permasalahan-permasalahan, menurut laporan Konsorsium Lembaga Swadaya Masyarakat pada awal tahun 1900-an, permasalahan tersebut adalah mendapatkan hasil yang mencengangkan dan mengerikan tentang bagaimana anak jalanan dipaksa untuk berhubungan seks dengan sesamanya, mengepel lantai dengan lidahnya dan kekerasan lain yang sulit dibayangkan.
Pada awal 1980-an jumlah anak jalanan di Indonesia meningkat dengan drastis dan hampir 70 persen dari mereka adalah anak yang lari dari rumah karena faktor kemiskinan dan kekerasan yang dilakukan oleh keluarga ataupun kerabat dekat mereka.
Diperkirakan bahwa pada tahun 2000-an, jumlah anak jalanan yang semula diperkirakan “hanya” sekitar 50.000 anak jalanan yang tersebar di kota besar di Indonesia, jumlahnya meningkat menjadi sekitar 125.000. Masih berkaitan dengan masalah diatas adalah anak-anak yang menjadi obyek eksploitasi seksual komersial, yang merupakan muara dari segala persoalan di hulu. Pekerja dan anak-anak jalanan dengan mudah terjebak ke dalam jaringan perdagangan seks komersial ini.
Diperkirakan pada tahun 2000 ada sekitar 30 persen dari seluruh pekerja seks komersial pada saat itu adalah anak-anak di bawah usia 18 tahun. Data resmi mengenai berapa jumlah yang sebenarnya sangat sulit didapatkan karena mobilitas mereka yang sangat tinggi. Apalagi setelah krisis ekonomi terjadi, tercatat jumlah pekerja seks di Batam jumlahnya naik empat kali lipat menjadi 10.000. Jumlah uang yang berputar dalam industri seks di negeri Indonesia berkisar antara 1,8 milyar sampai 3,3 milyar setahun (data tahun 2000).
Menurut data BPS pada bulan Agustus 2000 jumlah pekerja anak sebanyak 2,3 juta. Jumlah ini belum mencakup anak–anak berumur di bawah 10 tahun. IPEC/ILO memperkirakan sekitar 8 juta pekerja anak di bawah usia 15 tahun. Sebagai perbandingan selama tahun 1995 – 1999 terdapat 11,7 juta anak yang putus sekolah.
Pelacuran anak, terdapat eksploitasi secara seksual yaitu 40 – 70 ribu anak di bawah umur 18 tahun. Mereka sebagian juga diperdagangkan ke luar negeri. Pada tahun 1997/1998, terdapat 75.106 tempat pekerja seks yang terselubung ataupun yang terdaftar. Kira – kira 30 % penghuni tempat–tempat tersebut perempuan berusia 18 tahun. (Laporan Situasi Anak dan Perempuan 2000)
Anak yang berkonflik dengan hukum, menurut BPS, setiap tahunnya terdapat lebih dari 4.000 perkara pelanggaran hukum yang dilakukan anak–anak di bawah usia 16 tahun. Tahun 1994 terdapat 9.442 perkara, menurun pada tahun 1995 (4.724 perkara). Dari seluruh anak yang ditangkap hanya sekitar separuh yang diajukan ke pengadilan dan 83 % dari mereka kemudian penjarakan.Pengungsi anak, menurut Bakornas Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi berjumlah 40 % dari seluruh jumlah pengungsi. Sampai maret 2001, jumlah pengungsi adalah 1.081.341 jiwa atau 240.840 KK yang tersebar di 20 provinsi.
Perlakuan salah pada anak, dalam bentuk fisik, emosional dan seksual terjadi pada anak–anak di Indonesia. Belum ada data lengkap. Namun berdasarkan pemantauan terhadap 13 media cetak selama tahun 1994 – 1997, YKAI melaporkan 538 kasus perlakukan salah secara fisik, 63 kasus penelantaran, dan 5 kasus perlakuan salah secara emosional. Perlakuan child abuse adalah orang yang dikenal anak (66%), termasuk orangtuanya sendiri (7,2 %).
Perdagangan anak, dengan tujuan–tujuan untuk pembantu rumah tangga, pelacuran, mengemis di jalanan, mengedarkan narkotika, untuk dieksploitasi di tempat–tempat kerja berbahaya seperti jermal, pertambangan, perkebunan, dsb. Telah dikenal lama. Saat ini dikenal pula adopsi palsu, perekrutan anak untuk perang (konflik), hal yang juga tak kalah peliknya adalah persoalan buruh anak juga menjadi persoalan yang tak kalah seriusnya. Padahal buruh anak di sektor formal maupun informal selalu muncul di setiap zaman hampir tidak pernah bisa dicarikan jalan keluarnya secara lebih holistik. Sebelum krisis saja jumlah pekerja formal diperkirakan sebesar 1,8 juta, walaupun Bank Dunia menunjukan angka 2,5 juta. Akan tetapi kalau melihat angka putus sekolah yang mencapai hampir delapan juta anak, maka hampir bisa dipastikan paling tidak sekitar 10 juta anak bekerja di sektor formal maupun informal.
Selain itu juga permasalahan yang dialami oleh anak yang merupakan dampak dari tidak terpenuhi kebutuhan dasar nereka adalah anak terlantar yaitu anak yang karena sebab-sebab tertentu tidak terurus, tidak terpelihara, sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan jasmani, rohani dan sosialnya, yang mengakibatkan terganggu atau terhambat pertumbuhan jasmani dan perkembangan kepribadiannya.

Kebijakan dalam Penanganan Masalah Anak
Terdapat lima kelompok PKSA di lingkungan Direktorat Pelayanan Sosial Anak, yang pertama bantuan pemenuhan kebutuhan dasar anak balita sebesar satu milyar enam juta rupiah, yang kedua bantuan pemenuhan kebutuhan dasar dan kesejahteraan social anak jalanan dan anak terlantar sebesar tiga milyar enam ratus lima puluh lima juta lima ratus delapan puluh ribu rupiah, yang ke tiga bantuan pemenuhan kebutuhan dasar dan kesejahteraan social anak berhadapan dengan hukum (ABH) sebesar enam ratus lima puluh juta rupiah, yang ke empat bantuan pemenuhan kebutuhan dasar dan kesejahteraan social anak dengan kecacatan, sebesar satu milyar enam ratus enam belas juta empat ratus ribu rupiah, dan yang ke lima bantuan pemenuhan kebutuhan dasar dan kesejahteraan social anak yang memerlukan perlindungan khusus sebesar satu milyar dua ratus dua puluh empat juta rupiah” ungkap Harry Hikmat. Komisi Perlindungan Anak  Indonesia (KPAI), Hadi Supomo, menjelaskan tentang tentang aspek wawasan, tentang sosialisasi, dan berharap adanya persepsi yang sama tentang mandat pengawasan anak-anak itu adalah KPAI. Permasalahan anak terjadi akibat masalah keluarga, seperti data dari Kementerian Agama menyebutkan bahwa 10% kasus perceraian pertahun terjadi. Menyebabkan banyak anak yang menjadi terlantar. Menjadi permasalahan juga bahwa sebanyak 40% pengaduan ke KPAI adalah perebutan hak Asuh anak.
Meneg PP yang diwakili oleh yang diwakili oleh Deputi Bidang Anak, menjelaskan tentang Undang-undang Perlindungan anak merupakan langkah penting untuk melaksanakan perlidungan anak, memberikan sangsi tegas terhadap pelanggaran terhadap anak.
Kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan oleh kepolisian dalam membantu penanganan permasalahan anak berhadapan dengan hukum. Seperti Perlakuan secara khusus terdapap anak,penyediaan sarana dan prasarana, penjatuhan sangsi yang tegas untuk kepentingan terbaik anak,  pemantauan terus-menerus terhadap perkembangan anak yang berhadaapan dengan hukum.
Sementara itu Komisi VIII DPR RI menyambut baik untuk lebih meningkatkan kapasitas kelembagaan, ketersediaan data dan informasi, koordinasi, sinkkronisasi mengenai pelaksanaan program perlindungan anak lintas sektoral dan harmonisasi peraturan perundang – undangan yang terkait dengan perlindungan anak, Komisi VIII DPR juga sepakat dengan Ditjen Yanrehsos Kementerian Sosial RI, Bareskrim POLRI, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan perlindungan anak, serta KPAI dalam melakukan penanganan, perlindungan anak secara sistematis dan integratif serta sosialisasi yang intensisf mengenai program perlindungan anak.

Pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak di Indonesia secara khusus telah diatur dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, khususnya pada pasal 4 “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. (Dit Pelayanan Sosial Anak)

Directed By : Imam Fauzi. 2014. Filosofi, Tujuan dan Azas UU No 4 Tahun 1979 serta  Penanganan Masalahnya. Bandung : STKS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar