Minggu, 05 Oktober 2014

Hak Penyandang Disabilitas dan Anak

a.       Latar Belakang
Bandung adalah salah satu kota besar di Indonesia yang mempunyai banyak
penduduk. Maka dari itu, tidak sedikit masalah-masalah sosial yang muncul di Kota Kembang ini. Dari berbagai masalah sosial yang ada, anak yang dipekerjakan dan kedisabilitasan misalnya .

Anak-anak yang telah terlibat secara aktif dalam kegiatan ekonomi untuk menjalankan perannya sebagai pekerja, bukanlah suatu fenomena baru di saat ini. Hasil pengamatan akhir-akhir ini, masih banyak ditemui berbagai kasus pekerja anak, yang mengarah pada bentuk-bentuk pengeksplotasian anak dan berbagai insiden perlakuan salah pada anak, yang mengakibatkan luka, keluhan dan disabilitas fisik serta moral sosial pada saat ia melakukan pekerjaannya.
Data menunjukkan posisi penyumbang pekerja anak dari Kabupaten Bandung 120 anak dan dari Kota Bandung 90 anak. Dari tersebut, mengingatkan kita pada Juli 2002 lalu, di Jalan Adibrata, Kelurahan Kebon Jeruk, ecamatan Andir, Bandung. Di tempat itulah 12 anak berusia 11 hingga 18 tahun dipekerjakan tidak sewajarnya. Mereka harus bekerja selama 12 jam sehari dari pukul 07.00 hingga 19.00 dan hanya setengah jam waktu untuk istirahat. Parahnya, selama istirahat itu mereka dilarang ke luar atau beranjak dari tempat kerja. Bahkan majikan mereka sering mencaci maki dengan kata-kata goblok, anjing, sambil mendorong kepala.  Selain itu, pintu gerbang digembok agar mereka tidak bisa kabur dan gaji mereka juga tidak dibayarkan.
Lain pekerja anak, lain dengan kedisabilitasan. Kedisabilitasan merupakan kondisi seseorang yang mempunyai kelainan fisik atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rinangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layaknya. Berbicara kedisabilitasan, beberapa waktu lalu di Bandung, para tunatra memperjuangkan haknya yang terampas saat Pemilihan Legislatif 2014. Penyebabnya, KPU tidak menyediakan template braile untuk surat suara calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten atau kota. Pemilu dianggap diskriminatif dan mengabaikan hak kaum tunanetra untuk menggunakan hak suaranya.
B.       Pembahasan
a.      Pekerja Anak
1.    Pekerja Anak dalam Hak Asasi Manusia
Dalam undang-undang Ketenagakerjaan, dicantumkan larangan secara tegas bagi setiap pengusaha untuk mempekerjakan anak. Yaitu mereka yang berusia dibawah 18 tahun. Ketentuan itu sejalan dengan isi pasal 2.3 dari Konvensi ILO No. 138 Tahun 1973, yang intinya menyebutkan bahwa, batas usia minimum ... tidak kurang dari usia penyelesaian wajib belajar, dan dalam kasus apapun tidak kurang dari 15 tahun. Akan tetapi larangan tersebut ada pengecualiannya, yakni pada Pasal 69 UU Ketenagakerjaan, anak yang berumur 13 sampai 15 tahun dapat melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosialnya; pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 70); pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya (Pasal 71).
Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan harus memenuhi syarat, yaitu ijin tertulis dari orang tua/wali, perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua/wali, waktu kerja tidak boleh lebih dari 3 (tiga) jam, dilakukan pada siang dan tidak mengganggu waktu sekolah, keselamatan dan kesehatan kerja, adanya hubungan kerja yang jelas, dan Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sehingga ketika anak yang dipekerjakan tidak sedikit dari pengusaha yang  tidak sesuai dengan Pasal 69 UU Ketenagakerjaan dan melanggar beberapa syarat yang sudah ditentukan. Diantaranya yaitu waktu bekerja dari pekerja anak di bawah tersebut lebih dari tiga jam dalam seharinya; dan tidak adanya keselamatan dan kesehatan kerja serta tidak adanya jaminan kecelakaan kerja.
Dalam upaya perlindungan anak sendiri, pemerintah telah membuat payung hukum untuk anak yaitu Undang-undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua atau wali atau pihak yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, ekploitasi, penelantaran, penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya.
Sedangkan anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya berbeda dengan orang dewasa. Selain itu, anak juga berhak memperoleh bantuan hukum, membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak secara objektif.
2.      Nilai-nilai yang diterapkan dalam menangani pekerja anak
a)      Nilai tentang konsepsi orang atau klien
1)      Setiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk menentukan dirinya sendiri, artinya anak sebagai pekerja atau dipekerjakan mempunyai hak dan kesempatan yang sama dengan pekerja orang dewasa dalam aspek jasmani maupun rohani.
2)      Setiap orang mempunyai kemampuan dan dorongan guna peningkatan taraf hidupnya, artinya  anak sebagai pekerja atau yang dipekerjakan mempunyai kemampuan dalam hal-hal meningkatkan taraf hidupnya dan mempunyai hak untuk mendapatkan motivasi untuk keberlangsungan hidup di masa datang.
3)      Setiap orang mempunyai kebutuhan yang perlu dipenuhi, pekerja anak mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi, diantaranya yaitu jaminan pekerja anak yang selama ini masih disamakan dengan pekerja dewasa.
b)      Nilai tentang konsepsi lingkungan masyarakat
1)        Masyarakat perlu menyediakan sumber dan pelayanan untuk membantu orang memenuhi kebutuhan dan memecahkan masalah, artinya masyarakat juga mempunyai wewenang untuk memperhatikan anak di seketarnya agar terpenuhi hak-haknya dan mengawasi dari perlakuan yang salah.
c)      Nilai tentang konsepsi interaksi antar manusia
1)      Pekerja sosial percaya bahwa orang yang bermasalah perlu bantuan dari orang lain, artinya dalam menyelesaikan masalah, seseorang tidak bisa menyelesaikannya seorang seorang diri. Melaikan perlu bantuan dari orang lain juga.
2)      Pekerja sosial percaya bahwa orang perlu diberi kesempatan memecahkan masalah dan menentukan nasibnya, artinya pekerja sosial atau orang yang terkait hanya dapat memberikan pilihan dalam memecahkan masalah seseorang untuk kemudian seseorang yang bermasalah menentukan pilihannyanya sendiri sesuai dengan kondisinya.
3)      Pekerja sosial percaya bahwa orang perlu dibantu dan ditingkatkan interaksinya dengan orang lain untuk membangun masyarakat yang bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan anggotanya.
3.    Penerapan kode etik pekerja sosial dalam menangani masalah pekerja anak
a)      Perilaku dan sikap pekerja sosial sebagai pekerja sosial
1)      Kesopanan, dalam menangani klien, pekerja sosial harus bersikap sopan dengan kliennya. Tidak boleh melakukan kecurangan atau sejenisnya.
2)      Pelayanan, dalam melakukan pelayanan terhadap klien, pekerja sosial mencegah praktik diskriminasi terhadap orang atau kelompok.
b)      Tanggung jawab etis pekerja sosial terhadap klien
1)      Pekerja sosial harus melayani klien dengan setia dan menjaga kepentingan klien serta merahasiakan permasalahan klien.
c)      Tanggung jawab etis pekerja sosial terhadap masyarakat
1)      Pekerja sosial harus ikut berpartisipasi dalam memajukan kesejahteraan umum. Pekerja sosial menjamin bahwa semua orang mempunyai jalan ke arah sumber pelayanan dan kesempatan yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

b.    Penyandang Disabilitas
1.      Penyandang Disabilitas dalam Hak Asasi Manusia
Aksesibilitas merupakan hal penting dalam mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang disabilitas guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam aspek kehidupan dan penghidupan.
Jaminan atas hak dan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan para penyandang disabilitas telah tercantum dalam Pasal 5 UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Disabilitas. Yang dimaksud dengan aspek kehidupan dan penghidupan penyandang disabilitas dalam pasal tersebut antara lain meliputi agama, kesehatan, pendidikan, sosial, ketenagakerjaan, ekonoi, elayanan umum, hukum, budaya, politik, pertahanan keamanan, olah raga, rekreasi, dan informasi.
Pemberian aksesibilitas terhadap penyandang disabilitas di Indonesia belum sepenuhnya dapat terwujud. Sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan UU No. 4 Tahun 1997, bahwa upaya perlindungan belum memadai, apalagi ada prediksi terjadinya peningkatan jumlah penyandang disabilitas di masa mendatang.
Dalam pemilu misalnya, masih terjadi pengabaian hak politik bagi penyandang disabilitas, antara lain :
a)      Hak untuk didaftar guna memberikan suara;
b)      Hak atas akses ke TPS;
c)      Hak atas pemberian suara yang rahasia;
d)     Hak untuk dipilih menjadi anggota legislatif;
e)      Hak atas informasi termasuk informasi tentang pemilu;
f)       Hak untuk ikut menjadi pelaksana dalam pemilu, dan lain-lain.
Meskipun presentasenya kecil dibandingkan dengan jumlah pemilih, namun mereka tetap mempunyai hak yang sama dengan warga negara lainnya untuk berperan serta dalam pemilu. Pada Pemilu Legislatif tahun 2004, hanya beberapa daerah yang memberikan perhatian khusus bagi penyandang disabilitas, dengan memberikan alat bantu guna mempermudah akses penyandang disabilitas.
Pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk menghormati, melindungi, dan memajukan hak asasi manusia, dalam hal ini adalah hak-hak penyandang disabilitas. Kewajiban pemerintah tidak hanya berhenti pada kebijakan fomulatif saja, namun juga pada kebijakan alikatif serta kebijakan eksekutif.
Selain itu, pemberdayaan masyarakat dalam mengupayakan aksesibilitas dapat menunjang upaya mewujudkan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas di Indonesia. Pemberdayaan dalam hal ini dimaksudkan sebagai usaha yang memungkinkan masyarakat bisa ambil bagian, baik dalam mengaktualisasikan aspirasi dan kepentingan secara bebas dan dilindungi, juga untuk ambil bagian dalam perumusan kebijakan-kebijakan negara yang menentukan nasib mereka..
2.      Nilai-nilai yang diterapkan dalam menangani penyandang disabilitas
a)      Nilai tentang konsepsi orang atau klien
1)      Setiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk menentukan dirinya sendiri, artinya penyandang disabilitas mempunyai hak dan kesempatan yang sama dengan orang lain dalam aspek jasmani maupun rohani untuk menentukan jalan hidupnya.
2)      Setiap orang mempunyai kebutuhan yang perlu dipenuhi, penyandang disabilitas mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi, diantaranya yaitu kebutuhan akan penghidupan yang layak, kebutuhan akan akses fasilitas, dan kebutuhan akan pengakuan dari orang lain.
b)      Nilai tentang konsepsi lingkungan masyarakat
1)      Masyarakat perlu menyediakan sumber dan pelayanan untuk membantu orang memenuhi kebutuhan dan memecahkan masalah, artinya masyarakat juga bertanggung jawab atas penyandang disabilitas yang ada di lingkungannya dalam memenuhi hak-haknya dan kebutuhan sehari-hari.
c)      Nilai tentang konsepsi interaksi antar manusia
1)      Pekerja sosial percaya bahwa orang yang bermasalah perlu bantuan dari orang lain, artinya penyandang disabilitas merupakan orang yang bermasalah, sehingga mereka perlu bantuan dari orang lain termasuk pekerja sosial.
2)      Pekerja sosial percaya bahwa orang perlu diberi kesempatan memecahkan masalah dan menentukan nasibnya, artinya pekerja sosial atau orang yang terkait hanya dapat memberikan pilihan dalam memecahkan masalah seseorang untuk kemudian seseorang yang bermasalah menentukan pilihannyanya sendiri sesuai dengan kondisinya.
3)      Pekerja sosial percaya bahwa orang perlu dibantu dan ditingkatkan interaksinya dengan orang lain untuk membangun masyarakat yang bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan anggotanya. Artinya penyandang disabilitas perlu dibantu dan ditingkatkan potensinya untuk berinteraksi dengan orang lain dengan baik.
3.      Penerapan kode etik pekerja sosial dalam menangani penyandang disabilitas
a)      Perilaku dan sikap pekerja sosial sebagai pekerja sosial
1)      Kesopanan, dalam menangani klien, pekerja sosial harus bersikap sopan dengan kliennya. Tidak boleh melakukan kecurangan atau sejenisnya.
2)      Kompetensi dan perkembangan profesional, pekerja sosial tidak boleh salah dalam menggambarkan kualifikasi profesional dalam pengalaman profeional.
3)      Pelayanan, dalam melakukan pelayanan terhadap klien, pekerja sosial mencegah praktik diskriminasi terhadap orang atau kelompok.
b)      Tanggung jawab etis pekerja sosial terhadap klien
1)      Pekerja sosial harus melayani klien dengan setia dan menjaga kepentingan klien serta merahasiakan permasalahan klien.
2)      Menjaga kepentingan dan hak klien, bertindak untuk kepentingan klien, dan memberikan hak-hak sipil klien.
c)      Tanggung jawab etis pekerja sosial terhadap masyarakat
1)      Pekerja sosial harus ikut berpartisipasi dalam memajukan kesejahteraan umum. Yaitu dengan menghilangkan diskriminasi kedisabilitasan fisik atau mental atau karakteristik pribadi, kondisi serta statusnya. Selain itu juga memberikan pelayanan profesional yang sesuai dala, keadaan darurat umum.

C.       Penutup
Sederetan undang-undang yang menyangkut pekerja anak ataupun penyandang disabilitas merupakan titik awal dalam rangka mencapai kesamaan kesempatan dalam asek kehidupan dan penghidupan masnyarakat, guna mewujudkan kemandirian dan keselamatan dan kesejahteraan. Upaya mewujudkan hak-hak pekerja anak ataupun penyandang disabilitas merupakan tanggung jawab pemerintah, masyarakat, dan pekerja anak atau penyandang disabilitas itu sendiri. Hal ini tidak akan terwujud tanpa ada suatu struktur sosial yang mendukung.
D.      Daftar Pustaka
Muladi. 2004. Hak Asasi Manusia “Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam     Perspektif Hukum dan Masyarakat”. Refika Aditama. Bandung.
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Disabilitas.
Liputan6.com
Sindonews.com

Materi Kuliah Tentang Nilai dan Etika.
Directed By : Imam Fauzi. 2014. Nilai Etika dan HAM. Bandung : STKS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar